Selasa, 08 Maret 2011

Apa yang Menyebabkan Tingkah Laku Abnormal?

Pendekatan Biologis
Para pendukung pendekatan biologis percaya bahwa tingkah laku abnormal disebabkan oleh tidak berfungsinya tubuh secara fisik, artinya bila seorang remaja bertingkah alku tanpa bisa dikendalikan, tidak menunjukkan adanya kontak dengan realita, atau mengalami depresi yang parah, maka faktor – faktor biologis yang menjadi penyebabnya. Kini, para ilmuwanndan peneliti yng menggunakan pendekatan biologis sering kali berfokus pada proses kerja otak dan faktor – faktor genetik debagai penyebab tingkah laku abnormal.
Model media juga sering disebut dengan model penyakit, model ini merupakan pelapor dari pendekatan biologis. Model medis menyatakan bahwa abnormalitas adalah suatu penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab dari dalam tubuh. Dari pandangan ini, abnormalitas disebut sebagai penyakit mental, dan inidividu yang mengalaminya disebut sebagai pasien di rumah sakit dan ditangani oleh dokter.

Pendekatan Psikologis dan Sosial-Budaya
Walaupun pendekatan biologis memberikan suatu perspektif yang penting dalam memahami tingkah lakuabnormal, banyak psikolog yang percaya bahwa pendekatan biologis kurang mempertimbangkan pentingnya faktor – faktor psikologis dan sosial-budaya dalam tingkah laku abnormal. Ketidakstabilan emosional, pembelajaran yang salah, pemikiran yang kacau, dan hubungan dengan orang lainyang tidak berani, lebih menjadi perhatian pendekatan psikologis dan sosial-budaya, daripada pendekatan biologis.
Pendukung pendekatan psikologis dan sosial-budaya juga mengkritik model medis karena mereka pecaya bahwa model itu menyebabkan seseorang dicap mengalami gangguan mental. Ketika seorang remaja dicap sakit mental, ia mulai memandang dirinya sakit, dan oleh karena itu, tidak menyadari adanya tanggung jawab untuk menghadapi masalahnya (Scheff, 1966).
Kebanyakan ahli dalam tingkah laku abnormal sepakat bahwa banyak gangguan psikologis yang sifatnya universal, muncul di sebagian besar kebudayan (Al-Issa, 1982). Namun demikian, frekuensi dan intensitas tingkah laku abnormal sering kali berbeda-beda di setiap kebudayan, sosial, ekonomi, teknologi, agama, dan faktor – faktor kebudayan lainnya (Costin&Draguns, 1989).
Pendekatan Interaksionis
Normalitas atau abnormalitas tingkah laku remaja tidak dapat ditentukan tanpa memertimbangkan kompleksitas remaja dan banyaknya hal yang memperngaruhi tingkah laku. Balik pendekatan biologis maupun pendekatan psikologis dan sosial-budaya, masing – masing tidak dapat mencakup kompleksitas ini secara mandiri. Tingkah laku abnormal remaja dipengaruhi oleh faktor biologis (misalnya proses kerja otak dan keturunan), oleh faktor psikologis (misalnya ketidakstabilan emosional, pemikiran yang kacau), dan oleh faktor sosial-budaya (misalnya hubungan dengan oranglain yang tidak berarti). Ketiga faktor ini saling berinteraksi dalam memunculkan tingkah laku abnormal remaja.

Sumber :
Santrok, J. W. (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Apakah Tingkah Laku Abnormal itu?

Di antara berbagai kesulitan yang ada, yang dimaksud dengan abnormal itu dapat berbeda – beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain, dan dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Pada awal abad ke-20, di Amerika Serikat, masturbasi dianggap menyebabkan berbagai macam hal, mulai kutil samapai kegilaan. Kini banyak sikap lebih menerima masturbasi, dan masturbasi tidak lagi dianggap abnormal.
Madonna adalah seseorang yang berbeda namun ia tidak dianggap abnormal karena ia adalah seorang penyanyi dan penampil video musik yang luar biasa. Steffi Graf juga tidak dianggap abnormal walaupun ia sudah menjadi pemain teknis professional papan atas di usianya yang muda. Troy Aikman adalah seorang gelandang yang hebat di lapangan olah raga, dan hal ini tidak membuatnya dianggap abnormal. Bila dengan menjadi berbeda (atypical) tidak membuat seseorang dianggap abnormal.
Tingkah laku abnormal adalah tingkah laku yang maladaptive dan berbahaya. Tingkah laku seperti ini tidak mampu mendukung kesejahteraan, perkembangan, dan pemenuhan masa remaja, dan juga pada akhirnya, orang lain. Tingkah laku maladaptive memiliki berbagai bentuk bunuh diri, mengalami depresi, memiliki keyakinan yang aneh dan tidak rasional, menyerang orang lain dan mengalami ketergantungan pada obat – obat terlarang, misalnya tingkah laku abnormal seperti ini mmpengaruhi kemampuan remaja untuk dapat berfungsi secara efektif di dunia ini dan juga dapat membahayakan orang lain.

Sumber :
Santrok, J. W. (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kamis, 03 Maret 2011

Mahasiswa (Remaja Akhir)

Beberapa waktu lalu pengumuman kelulusan SMA sudah diumumkan. Banyak yang lulus tetapi ada juga yang tidak lulus. Beberapa orang yang lulus memiliki keinginan untuk bekerja atau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Apabila akan memasuki perguruan tinggi, mereka akan merubah status “pelajar” menjadi “mahasiswa”. Pada tahap awal menjadi mahasiswa, banyak yang belum terbiasa karena mereka masih memasuki tahap transisi dari dunia SMA ke dunia Kampus.
Penggolongan remaja menurut Thornburg (dalam Dariyo, 2004) terbagi 3 tahap, yaitu (a) remaja awal (usia 13-14 tahun), (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan (c) remaja akhir (usia 18-21 tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SMP), sedangkan masa remaja tengah, individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA). Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja. Mahasiswa masuk ke dalam tahap masa remaja akhir.
Hurlock (1994) menyebutkan beberapa tugas perkembangan remaja, antara lain :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan dewasa sekitarnya
f. Mempersiapkan karir ekonomi
g. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis ebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideology

Sumber : Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan remaja. Bogor : Ghalia Indonesia.      Hurlock, E.B. (1994). Psikologi perkembangan (edisi ke-5). Jakarta : Erlangga.

Ekstrovert-Introvert

Kita sering sekali mendengar tentang kepribadian manusia ekstrovert dan introvert, tapi sebenarnya apa sih kepribadian ekstrovert dan introvert itu?
Jung (dalam Suryabrata, 2003) mengemukakan beberapa ciri dari kepribadian ekstrovert-introvert sebagai berikut :
a. Orang yang ekstrovert terutama dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia di luar dirinya. Orientasi terutama tertuju ke luar; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya baik lingkungan sosial maupun lingkungan non sosial. Orang yang ekstrovert bersikap positif terhadap masyarakatnya, hatinya terbuka, mudah bergaul, hubungan dengan orang lain lancar.
b. Orang yang introvert terutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam; pikiran, perasaan serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subjektif. Penyesuaiannya dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain dan kurang dapat menarik orang lain.

Sumber : Suryabrata, S. (2003). Psikologi kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Selasa, 01 Maret 2011

Mengukur Rasa Percaya Diri dan Konsep Diri

Mengukur rasa percaya diri dan konsep diri tidaklah mudah, khusunya dalam pengukuran terhadap remaja (Wylie, 1969). Selama bertahun-tahun, pengukuran dirancang khususnya untuk anak – anak atau untuk orang dewasa, dan hanay sedikit memperhatikan remaja. Susan Harter (1989) baru-baru ini mengembangkan pengukuran yang terpisah bagi remaja: Persepsi diri remaja. Pengukuran ini melibatkan 8 domain kompetensi skolastik, kompetensi pekerjaan ditambah dengan harga diri secara keseluruhan. Pengukuran remaja memiliki 3 domain keterampilan yang tidak terdapat pada pengukuran anak-anak yang disusun Harter yaitu kompetensi pekerjaan, ketertarikan romantic, dan hubungan yang dekat.
Beberapa ahli pengukuran berpendapat bahwa kombinasi dair beberapa metode dapat digunakan untuk mengkur rasa percaya diri. Sebagai tambahan untuk pengukuran lapor diri. Pengukuran rasa percaya diri remaja yang dilakukan oleh orang lain dan observasi perilaku remaja pada berbagai situasi dapat memberikan gambaran rasa percaya diri yang lebih lengkap dan akurat. Teman sebaya, dengan remaja dapat ditanya untuk mengukur arsa percaya diri remaja. Ekspresi wajah remaja dan sejauh mana mereka menghargai atau menyalahkan diri sendiri merupakan salah satu indikator yang baik untuk melihat bagaimana remaja melihat dirinya sendiri.
Sebagai contoh, remaja yang jarang tersenyum atau jarang terlihat bahagia dapat mengungkapkan sesuatu mengenai rasa percaya diri mereka. Sebuah penelitian yang menggunakan observasi tingkah laku untuk mengukur rasa percaya diri menunjukkan bahwa beberapa tingkah laku positif dan juga negatif dapat memberi petunjuk tentang rasa percaya diri remaja (Savin Williams & Demo, 1983). Dengan menggunakan sejumlah metode (seperti pengukuran lapor diri dan observasi tingkah laku) dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber (seperti dari remajanya sendiri, orang tua, teman, dan guru), para peneliti mungkin bisa mengkonstruksikan suatu gambaran rasa percaya diri remaja yang lebih akurat.

Sumber : Santrock, John. (1996). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : PT.Gelora Aksara Pratama

Apakah Makna Rasa Percaya Diri dan Konsep Diri?

Rasa percaya diri (self esteem) adalah dimensi evaluative yang menyeluruh dari diri. Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri. Sebagai contoh, seorang remaja bisa mengerti bahwa dia tidak hanya seseorang yang baik. Tentu saja tidak semua remaja memiliki gambaran positif yang menyeluruh tentang diri mereka.
Konsep diri (self-concept) merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri. Remaja dapat membuat evaluasi diri terhadap berbagai domain dalam hidupnya akademik, atletik, penampilan fisik, dan sebagainya. Dapat disimpulkan  bahwa rasa percaya diri merupakan evaluasi diri yang menyeluruh, konsep diri lebih kepada evaluasi terhadap domain yang spesifik.
Para peneliti tidak selalu menyebutkan perbedaan yang jelas antara rasa percaya diri dan konsep diri, kadang – kadang mereka menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian atau tidak benar – benar mendefinisikan keduanya. Perbedaan antara rasa percaya diri sebagai evaluasi diri yang global dan konsep diri sebagai evaluasi diri terhadap domain yang spesifik dapat membantukita dalam membedakan kedua istilah tersebut.

Sumber : Santrock, John. (1996). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : PT.Gelora Aksara Pratama

KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN REMAJA

Perubahan kognitif yang menjadi cirri remaja mempunyai implikasi penting bagi usaha – usaha menangani perilaku kelompok remaja beresiko maupun penyuluhan kesehatan remaja (Crokett & Petersen, 1993). Sejumlah pakar berpendapat bahwa egosentrisme remaja adalah penyebab initi perilaku mereka yang berani mengambil resiko tinggi. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa karena remaja, teruatama yang masuh muda, memandang diri mereka tak terkalahkan, kebal fisik, dan kebal sangsi hokum yan tindakan yang beresiko tinggi dan membahayakan kesehatan mereka (Arnett, 1992). Misalnya, dalam suatu penelitian egosentrisme berkaitan dengan perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab pada pelajar SLTA (Arnett, 1995). Pakar lain mengemukakan bahwa dimensi kognitif pada egosetrisme bukanlah penyebab perilaku mengambil resiko (Lapsley, 1993). Misalnya, pada suatu penelitian pola negativitas pada suatu keluarga berkaitan dengan perilaku berani mengambil resiko pada remaja (Lefkowitz, 1994).
Meningkatnya penalaran hipotesis-deduktif yang menyertai vara berpikir operasional formal seharusnya mengurangi perilaku berani mnegambil resiko serta memperlancar usaha – usaha penyuluhan kesehatan bagi remaja. Sejalan dengan mematangnya remaja secara kognitif, sebagian remaja lebih mampu memahami resiko kesehatan, memikirkan perilaku mereka, memperhatikan akibat jangka panjang dari tindakan mereka, serta memahami makna simbolik. Disayangkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir abstrak dan minat terhadap makna simbolik yang terjadi dapat membuat remaja menjadi lebih mudah terpengaruh iklan yang secara simbolik mengaitkan produk – produk yang kurang sehat, seperti rokok dan alcohol, dengan daya tarik, penerimaan teman sebaya, dan status dewasa (Streinberg, 1991).
Program penyuluhan kesehatan juga perlu mempertimbangkan perbedaan perkembangan dalam kemampuan menalar. (Crokett & Petersem, 1993). Sebagai aturannya, remjaa muda sebaiknya diberi pendekatan yang lebih tua dengan pendekatan yang lebih abstrak, simbolik. Meski pun demikian, liputan kita mengenai kognitif remaja sehingga strategi penyuluhan kesehatan yang efektif dapat bervariasi meskipun ditunjukkan bagi remaja yang seumur.
Ringkasnya, meskipun egosentrisme mungkin dapat menjelaskan perilaku mengambil-resiko yang ditampilkan remaja, mungkin juga ada pemikiran lain yang dapat menjelasknannya. Kenyataan bahwa tidak semua remaja berada pada tahap perkembangan kognitif yang sama, menunjukkann bahwa diperlukan  pendekatan  ganda dalam usaha penyuluhan kesehatan bagi remaja yang lebih konkret dan yang lebih simbolik.

Sumber : Santrock, John. (1996). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : PT.Gelora Aksara Pratama